Rabu, 01 Juli 2009

Etnobotani Tumbuhan Obat, Perawatan Kesehatan Ibu Hamil dan Melahirkan pada Masyarakat Wawonii

I. Pendahuluan

Selayang Pandang Wawonii

Pulau Wawonii merupakan salah satu pulau kecil yang luasnya sekitar 1000 km² (Anonim, 2008), terletak di bagian tenggara kota Kendari, termasuk dalam kabupaten Konawe, propinsi Sulawesi Tenggara. Pulau ini dapat dicapai dengan kapal cepat atau kapal kayu sekitar 1,5 – 3 jam dari kota Kendari di daratan pulau Sulawesi ke Langara di pulau Wawonii.

Orang Wawonii adalah salah satu suku bangsa di Sulawesi tenggara yang mendiami satu pulau kecil yakni Pulau Wawonii sebagai penduduk asli. Secara etnografis, Keberadaan Orang Wawonii masih kurang dikenal orang, disebabkan oleh karena tidak adanya penelitian atau publikasi yang pernah dilakukan mengenai suku bangsa ini. Kenyataan ini dapat dimaklumi mengingat populasi Orang Wawonii yang tergolong kecil dengan tingkat adaptasi budaya yang rendah serta mendiami suatu pulau kecil yang jauh dari pusat informasi. Kecuali itu, sedikit informasi tentang Orang Wawonii yang banyak diketahui orang adalah bahwa suku bangsa ini identik dengan ilmu hitamnya yang sangat mujarab dan manjur untuk melumpuhkan orang lain.

Menurut cerita, nenek moyang Orang Wawonii berasal dari daratan Sulawesi Tenggara tepatnya di bagian kampung Lasolo dan Soropia (Torete) dan daratan Buton Utara di kampung Kulisusu. Mereka telah mendiami pulau ini semenjak beratus-ratus tahun lalu. Tidak jelas benar darimana dan kapan mereka mulai menempati pulau ini. Yang jelas mereka adalah penduduk asli di Pulau Wawonii, dan merupakan suatu suku bangsa tersendiri yang memiliki adat istiadat dan kebudayaan yang berbeda dari suku-suku bangsa lainnya di nusantara.

Dilihat dari namanya, suku maupun pulaunya, Wawonii secara etimologis berasal dari kata “Wawo” yang berarti di atas, dan “nii” yang berarti kelapa. Jadi Wawonii” artinya adalah “diatas kelapa” atau secara harfiah berarti daratan/pulau yang ditumbuhi pohon kelapa. Secara factual kenyataannya memang demikian. Pulau kecil tersebut penuh dengan tanaman kelapa khususnya dipesisir pantainya. Tanaman kelapa inilah yang menjadi sumber penghidupan utama Orang Wawonii selain berladang berpindah, mengolah kayu dan merotan. Sebagai sumber mata pencaharian utama, tanaman kelapa merupakan infra struktur ekonomi masyarakat yang sangat vital. Buah kelapa diolah menjadi kopra lalu kemudian di pasarkan di Kota Kendari dengan menggunakan perahu layar (kapal) masyarakat setempat. Berladang berpindah juga dikerjakan oleh Orang Wawonii yang dilakukan dengan membuka hutan dengan sistem tebang bakar (shifting and burning cultivation). Areal yang dibuka dijadikan sebagai ladang dengan ditanami tanaman jangka pendek seperti padi, jagung dan berbagai macam sayur-sayuran. Selain itu, areal perladangan juga ditanami dengan tanaman jangka panjang yaitu kelapa. Kawasan perladangan ini diolah untuk 1 (satu) hingga 3 (tiga) kali maksimal musim tanam dan setelah itu pindah lagi ke lokasi yang baru. Kawasan perladangan masyarakat ini, tidak jauh dari perkampungan penduduk, tetapi hanya beberapa kilo meter saja yang ditempuh dengan jalan kaki.

Sedangkan mengolah kayu dan merotan hanya dilakukan oleh sebagian kecil penduduk dan umumnya hanya dibutuhkan untuk kepentingan pembuatan rumah masyarakat. Untuk mengelola dalam jumlah yang besar, Orang Wawonii tidak pernah melakukannya. Hal ini lebih dikarenakan oleh tingkat ketergantungan mereka terhadap tanaman kelapa yang sangat tinggi. Sebagai contoh, kegiatan merotan hanya dilakukan oleh Orang Wawonii dikampung Tekonea dan Polara, itupun hanya pada masa-masa senggang apabila telah memanen kelapanya.

Satu hal yang unik pada orang Wawonii adalah bahwa kendatipun mereka tergolong masyarakat pesisir, mengingat perkampungan mereka terletak dipinggiran pantai kecuali satu perkampungan yakni kampung Wawolaa yang berada dipedalaman, namun tingkat keterkaitan mereka dengan laut sangat rendah. Adalah sangat susah menemukan satu orang Wawonii yang menjadi nelayan. dibeberapa perkampungan orang Wawonii, jika kita bandingkan dengan perkampungan pesisir lainnya, biasanya yang dijemur oleh penduuduk di jalan-jalan atau dihalaman rumah adalah ikan. Atau bahwa perkampungan pesisir identik dengan bau ikan, jala, dan berbagai peralatan nelayan lainnya. Tetapi di perkampungan pesisir orang Wawonii yang dijemur adalah kelapa dan bau yang sangat terasa menusuk hidung adalah bau kopra. Dipinggiran pantai yang nampak adalah rumah panggang kelapa, perahu dan kapal-kapal kecil tetapi bukan untuk mencari ikan namun sebagai alat transportasi untuk mengangkut buah kelapa maupun mengangkut koperasi.

Suatu kenyataan yang cukup kontras dengan letak geografis masyarakatnya yang berada dipesisir pantai adalah susahnya untuk memperoleh ikan atau hasil-hasil laut lainnya bagi pemenuhan kebutuhan makan sehari-hari. Bahkan untuk kebutuhan yang satu ini, mereka hanya mengharap dari nelayan/orang Bajo yang singgah diperkampungan mereka. Tetapi bila tidak ada yang singgah dalam beberapa hari maka selama itu pula mereka tidak mengkonsumsi ikan.

Pulau Sulawesi dikenal memiliki flora yang unik, karena pulau ini letaknya terbentang diantara garis Wallacea yang merupakan pusat pertemuan persebaran tumbuhan dari Asia dan Australia dan diduga mempunyai keanekaragaman tumbuhan sangat tinggi (Steenis, 1950). Selama ini data-data flora daerah Wawonii belum terdokumentasi, karena penelitian dan eksplorasi ke daerah ini banyak belum dilakukan. Fairchild merupakan satu-satunya ahli botani dari Amerika Serikat yang pernah melakukan perjalanan ke pulau Wawonii pada tahun 1940, tetapi itupun tidak ada data-datanya (Steenis, 1950).

Sehubungan dengan itu tulisan berikut akan mengungkapkan koleksi tumbuhan pulau Wawonii khususnya inventaris tumbuhan obat-obatan yang digunakan pada perawatan paska persalinan.

II. Pendekatan Etnobotani Medikal

Tumbuhan dan Kegunaannya sebagai Obat

Seperti halnya masyarakat pedalaman lainnya di Indonesia, masyarakat Wawonii juga memiliki sistem pengetahuan tentang pengelolaan keanekaragaman sumberdaya alam dan lingkungan sekitarnya. Salah satu sistem pengetahuan tersebut adalah pemanfaatan tetumbuhan untuk pemenuhan kehidupan sehari-harinya, antara lain sebagai bahan obat tradisional. Oleh masyarakat tumbuhan obat dimaksud adalah semua jenis tumbuhan yang dapat digunakan sebagai ramuan obat, baik secara tunggal maupun campuran yang dianggap dan dipercaya dapat menyembuhkan suatu penyakit atau dapat memberikan pengaruh terhadap kesehatan.

Tidak semua masyarakat Wawonii memiliki tingkat pengetahuan yang sama dalam memanfaatkan tumbuhan obat. Hal tersebut sangat terkait dengan ilmu pengetahuan seseorang. Umumnya kepercayaan tentang kegunaan atau kekhasiatan suatu jenis tumbuhan obat tidak hanya diperoleh dari pengalaman, tetapi seringkali dikaitkan dengan nilai-nilai religius.

Di pulau Wawonii, tercatat 14 jenis tumbuhan yang digunakan oleh masyarakat setempat sebagai bahan obat tradisional perawatan pra dan paska persalinan. Satu jenis di antara tetumbuhan obat tersebut termaksud dalam daftar tumbuhan obat langka di Indonesia, yaitu: Arcangelisia flava (L.) Merrill Loureiro, polulasi jenis ini tergolong jarang dijumpai (Mogea dkk., 2001; Moelyono dan Sidik, 1999.).

Tabel 1. Tumbuhan Yang Dimanfaatkan Sebagai Bahan Obat Perawatan Pra dan Paska melahirkan Di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara.

No

Familia

Nama Spesies

Nama Lokal

Bagian Yang Dimanfaatkan

Cara Penggunaan

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

AMARYLLIDACEAE

Crinum Asiaticum L

ANARDIACEAE

Lannea Coromandelica (Houtt.) Merr.

ASTERACEAE

Elephantopus Scaber L.

ASTERACEAE

Wedelia Biflora (L.) DC.

CARICACEAE

Carica Papaya L.

MALVACEAE

Abelmoschus Esculentus (L.) Moench

MENISPERMACEAE

Arcangelisia Flava (L.) Merr.

MORACEAE

Ficus Septica Burm. F.

MORINGACEAE

Moringa Pterygosperma Gaertn

PIPERACEAE

Piper Betle L.

POACEAE

Cymbopogon Citratus (DC.) Stapf

ZINGIBERACEAE

Amomum Compactum Soland. Ex Maton

ZINGIBERACEAE

Costus Speciosus (Koenig) J.E. Smith

ZINGIBERACEAE

Curcuma Domestica Valeton

Kapupu

Kayu Jawa

Kateba

Komba-Komba

Kepaya

Hoinu

Oyong Kuni

Limboni

Keu Dawa

Lewe Sena

Loiya Le

Lasi Daru

Daru

Kuni

Daun

Kulit Kayu

Daun

Semua Bagian

Akar, Daun Tua

Daun Muda, Buah

Batang

Daun

Daun

Daun

Akar

Buah

Daun

Rimpang

Dipanaskan, Ditempelkan

Direbus, Diminum

Direbus, Diminum

Direbus, Diminum

Direbus, Diminum

Dimasak, Dimakan

Direbus, Diminum

Direbus, Diminum

Direbus, Diminum

Direbus, Diminum

Direbus, Diminum

Direbus, Diminum

Direbus, Diminum

Direbus, Diminum

Bagian-bagian tumbuhan digunakan oleh penduduk Wawonii sebagai obat adalah akar, batang, buah, daun, rimpang dan kulit. Bagian yang paling banyak digunakan penduduk sebagai obat adalah bagian daun. Sebagian besar pengobatan tradisional dengan tumbuhan hanya menggunakan satu bagian dari suatu tumbuhan, misalnya bagian daunnya saja atau bagian umbinya saja, sedangkan bagian-bagian lain dari tumbuhan tersebut tidak digunakan. Walaupun demikian terdapat beberapa jenis tumbuhan yang hampir semua bagian dari tumbuhan tersebut dapat digunakan untuk pengobatan beberapa jenis penyakit.

Secara umum bentuk pengobatan pra dan paska melahirkan di Wawonii dapat dikategorikan menjadi 2 jenis yaitu jenis pengobatan luar dan jenis pengobatan dalam. Jenis-jenis penyakit dengan menggunakan pengobatan luar seperti pada perawatan paska melahirkan. Pengobatan dalam adalah jenis pengobatan dengan memakan atau meminum olahan dari tumbuh-tumbuhan obat. Penyakit dengan pengobatan dalam ini antara lain seperti pencegah kehamilan dini.

Cara pengobatan luar bervariasi berdasarkan jenis penyakitnya. Umumnya jenis pengobatan luar ini menggunakan komposisi tumbuhan tunggal. Untuk luka dan sakit kulit, bagian tumbuhan yang banyak digunakan adalah daun dan dari satu jenis tumbuhan. Sebagian besar cara pengolahan tumbuhannya hanya ditumbuk dan kemudian dilulurkan pada bagian yang sakit.

Untuk pengobatan dalam, penduduk Wawonii mengolah tumbuhan tersebut dengan dua cara, yaitu direbus atau diparut, dimasak untuk kemudian diambil sari tumbuhannya. Pada umumnya, komposisi tumbuhan dalam pengobatan dalam ini lebih dari satu jenis tumbuhan.

III. Pendekatan Antropologi Medikal

Keterbatasan sarana dan prasarana kesehatan yang tersedia menyebabkan warga desa kesulitan untuk mendapatkan layanan kesehatan dasar yang memadai. Sarana kesehatan berupa Puskesmas memang tersedia di desa Tombaone ibu kota Kecamatan Wawonii Utara dan di kelurahan Langara Ibu kota Kecamatan Wawonii Barat. Akan tetapi, pelayanan kedua Puskesmas tersebut di bagi berdasarkan zona yakni desa Palingi di Puskesmas Tombaone sementara warga desa Waworope dan Labeau di layani di Puskesmas Langara.

Untuk menjangkau Puskesmas Tombaone, warga desa Palingi harus menempuh perjalanan sejauh 5 km dengan kondisi jalan berupa jalan setapak yang hanya dapat dilalui oleh kendaraan roda dua (ojek motor). Sementara warga desa Waworopo dan desa Labeau harus menempuh perjalanan sejauh 15 km untuk mencapai Puskesmas Langara dengan kondisi jalan setapak dan melalui kawasan yang berbukit dan hanya dapat dilalui oleh kendaraan roda dua (ojek motor). Fasilitas kesehatan lainnya yang juga terdapat seperti Puskesmas di desa Lampeapi dan Puskesmas pembantu di desa Wawolaa. Fasilitas kesehatan modern ditangani oleh mantra kesehatan dan bidan.

Namun fasilitas kesehatan dimaksudkan belum memberikan kemudahan bagi masyarakat setempat dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai utamanya pelayanan bagi ibu hamil dan melahirkan. Kondisi ini terutama dikeluhkan oleh kaum ibu. Untuk membantu persalinan, warga desa terpaksa masih menggunakan jasa dukun kampung. Sementara itu, ibu hamil dan anak balita yang terserang sakit atau mengalami kondisi gizi yang buruk terpaksa tidak mendapatkan pelayanan yang memadai.

Persepsi masyarakat Wawonii tentang sakit tergantung dari sudut pandang masing-masing orang. Secara umum dapat dikatakan bahwa sakit adalah keadaan yang tidak seimbang, sehingga dapat mempengaruhi kegiatan sehari-harinya. Penyebab penyakit bermacam-macam, ada yang datang dari Sangia (Sang Pencipta) dan ada yang berasal dari makhluk halus/jahat. mitos bahwa Orang Wawonii punya ilmu hitam dan bisa dikenakan kepada siapa saja. Menurut cerita orang, ilmu hitam itu memang ada tetapi hanya pada orang-orang tertentu, itupun hanya pada zaman dahulu. Sekarang kalaupun ada sudah sangat minim dan dikampung-kampung tertentu saja.

Penduduk Pulau Wawonii mengklasifikasikan penyakit menjadi tiga jenis, yaitu : penyakit biasa, penyakit karena magis dan penyakit karena makanan. Penyakit biasa adalah penyakit yang umum diderita oleh penduduk seperti demam, batuk dan flu, sakit badan dan sakit kepala yang timbul akibat perubahan cuaca atau kuman penyakit. Penyakit karena magis diyakini oleh penduduk timbul akibat pelanggaran tata cara hidup di alam seperti halnya penyakit gila, ayan atau lumpuh. Penyakit selanjutnya menurut masyarakat disebabkan karena makanan yang tidak sehat.

Hampir semua orang Wawonii mempraktekkan Sunni Islam. Walaupun demikian, kepercayaan tradisional animistik masih kuat dalam kehidupan sehari-hari. Mereka masih percaya pada kekuatan gaib roh yang mendiami tempat-tempat suci. Layanan dari sando (dukun/penyembuh) sering dicari untuk berbagai tujuan, termasuk penyembuhan berbagai penyakit dan mengusir roh jahat dari tubuh seseorang. Fasilitas kesehatan modern memang terdapat di pulau ini namun sando masih berperan dalam pengobatan penyakit dan perawatan pra dan paska persalinan. Oleh karena itu para sando selalu mengandalkan pengobatannya dengan senantiasa memohon pertolongan kepada Sang Pencipta.

Terdapat tiga bentuk pengobatan yang digunakan oleh penduduk untuk mengobati penyakit yaitu pengobatan puskesmas/puskesmas pembantu, pengobatan dengan tumbuhan obat, pengobatan pilihan yaitu menggunakan obat-obatan yang dijual bebas di toko-toko atau istilahnya obat warung. Untuk mengobati penyakit biasa, sebagian penduduk masih menggunakan tumbuhan obat walaupun sebagian sudah beralih pada penggunaan obat warung. Namun demikian penduduk masih mengetahui berbagai macam tumbuhan untuk pengobatan.

Tokoh yang dianggap memiliki pengetahuan yang paling baik tentang tumbuhan obat adalah sando. Peran sando bukan hanya menolong kelahiran bayi tetapi juga melayani pengobatan penyakit-penyakit yang biasa diderita oleh penduduk. Dalam pengobatannnya, sando memberikan resep berupa komposisi ramuan tumbuhan untuk mengobati penyakit. Sando juga sengaja menanami pekarangan rumahnya dengan tumbuhan obat untuk dimanfaatkan oleh penduduk.

Tata Cara Perawatan Kesehatan Pra dan Paska Melahirkan

Seorang ibu hamil akan mendatangi sando pada masa kehamilan empat bulan. Pada masa ini, sando menyarankan ibu hamil untuk meminum ramuan penambah stamina seperti air parutan rimpang Curcuma domestica Vahl. yang dicampur dengan madu atau telur ayam kampung. Pada masa kehamilan tujuh bulan, ibu hamil mendatangi sando secara berkala, karena pada masa ini sando mulai melakukan pemijatan untuk memperbaiki posisi bayi dalam rahim.

Ibu yang baru melahirkan dianjurkan untuk meminum air rendaman abu panas hasil pembakaran di dapur. Menurut mereka air abu ini lebih berkhasiat daripada air rebusan ramuan/racikan jamu. Selama mengkonsumsi air abu ini, ibu tersebut harus berpantang untuk minum dan makan hidangan yang panas. Untuk mempercepat pemulihan kesehatan ibu yang baru melahirkan, sando di desa Lampeapi mengurung ibu tersebut dalam tikar yang dilingkarkan. Dalam kurungan tersebut diletakkan pula abu panas yang dapat juga ditambahkan akar loiya le (Cymbopogon citratus (DC.) Stapf) dan buah lasi daru (Amomum compactum Soland. ex Maton).

Ibu-ibu setelah melahirkan melakukan perawatan tubuh untuk menghindari infeksi dengan penggunaan daun kapupu (Crinum asiaticum L.), dalam perawatan paska persalinan ini bertujuan untuk merapatkan atau mengecilkan kembali vagina. Cara penggunaannya yaitu daun yang telah dicuci bersih, dipanaskan di bara api (dilayukan), kemudian ditapelkan ke bagian vagina. Perawatan ini rutin dilakukan sampai 40 hari setelah melahirkan.

Penggunaan daun daru (Costus speciosus (Koenig) J.E. Smith) sebagai pencegah kehamilan (KB) dan perawatan paska persalinan (untuk mempercepat keluarnya darah nifas). Di Indonesia tumbuhan ini dapat ditemukan hampir di seluruh daerah dan pembudidayaannya mudah dilakukan. Komponen aktif yang berperan dalam mencegah terjadinya proses kehamilan/kontrasepsi adalah diosgenin (Lubis dkk., 1980).

Daun ombu (Blumea balsamifera (L.) DC.), dan daun lewe sena (Piper betle L) digunakan dalam perawatan paska persalinan. yang paling sering dan umum digunakan oleh masyarakat Wawonii adalah C. papaya, mengingat jenis ini mudah didapatkan dan merupakan tanaman budidaya yang umum dijumpai di pekarangan atau kebun. Cara penggunaannya dengan meminum rebusan daun tua (kuning).

Hoinu (Abelmoschus esculentus (L.) Moench.) juga merupakan salah satu tumbuhan yang digunakan dalam perawatan paska persalinan yaitu dengan cara mengkonsumsi sayuran dari daun dan buahnya. Tanaman ini bukan tumbuhan asli Indonesia, diduga berasal dari Asia Tenggara (Siemonsma, 1994), namun telah beradaptasi dengan kondisi alam pulau Wawonii dan diperkirakan telah dibudidayakan oleh masyarakat setempat lebih dari 100 tahun yang lalu. Diduga bibit atau biji jenis tumbuhan ini dibawa masuk oleh saudagar-saudagar dari luar ke Pulau Wawonii melalui Pulau Buton (Bau-Bau) yang merupakan pintu gerbang perdagangan rempah-rempah untuk kawasan Indonesia bagian timur. Penanaman tumbuhan ini umumnya bersamaan dengan penanaman padi ladang, pemanenan pertama dilakukan setelah 3-4 bulan masa tanam.