Minggu, 28 Juni 2009

KALOSARA, simbol adat Tolaki

Konsep Kalo dalam kebudayaan Tolaki sangat luas ruang lingkupnya. Sebagai fokus kebudayaan Tolaki, Kalo berfungsi sebagai lambang pengintegrasi unsur-unsur kebudayaan Tolaki. Secara umum Kalo meliputi O Sara (adat istiadat) yaitu adat pokok yang merupakan sumber dari segala adat istiadat orang Tolaki yang berlaku dalam semua aspek kehidupan mereka.

Sebagai adat pokok Kalo digolongkan : (1) sara wonua, yaitu adat pokok dalam pemerintahah (2) sara medulu, yaitu adat pokok dalam hubungan kekeluargaan dan persatuan pada umumnya (3) sara mbe’ombu, yaitu adat pokok dalam aktivitas agama dan kepercayaan (4) sara mandarahia, yaitu adat pokok dalam pekerjaan yang berhubungan dengan keahlian dan keterampilan dan (5) sara monda’u, mombopaho, momnakani, melambu, dumahu, meoti-oti yaitu adat pokok dalam berladang, berkebun, beternak, berburu, dan menangkap ikan.

Perlu diketahui bahwa Kalo memiliki bentuk yang beragam, cara pemakaian yang berbeda, tujuan penggunaannya, makna yang terkandung didalamnya, hubungannya dengan unsur-unsur lain dalam kebudayaan Tolaki serta fungsi Kalo sebagai fokus kebudayaan Tolaki.

Sebelum menjelajah lebih jauh, secara ringkas saya akan mendeskripsikan tokoh utama dalam tulisan ini yaitu Kalo. Pakar Antropolog Tolaki Abdurrauf Tarimana menguraikan secara harfiah Kalo adalah suatu benda yang berbentuk lingkaran, cara-cara mengikat yang melingkar dan pertemuan-pertemuan atau kegiatan bersama di mana pelaku membentuk lingkaran.

Sebagai benda lingkaran Kalo dibuat dari rotan, dan ada juga berbagai jenis Kalo yang dibuat dari bahan lain yaitu emas, besi, perak, benang, kain putih, akar, daun pandan, bambu dan dari kulit kerbau. Berdasarkan bahan pembuatannya dan tempat penggunaannya maka Kalo itu banyak jenisnya. Kalo dari rotan disebut Kalosara. Kalosara ini dalam penggunaannya dilengkapi dengan wadah anyaman dari tangkai daun palam, dan kain putih sebagai alas dari wadah tersebut.

Kalosara adalah symbol tertinggi dalam masyarakat tolaki, sejak dahulu hingga saat ini tetap digunakan oleh masyarakat Tolaki, dahulu kalosara digunakan sebagai alat perdamaian dalam menyelesaikan selisih paham antara kelompok masyarakat dalam soal politik, dan seiring perkembangan jaman oleh para keturunan raja, kalosara tidak hanya digunakan sebagai alat perdamaian tetapi telah mengalami perluasan fungsi sebagai alat dalam upacara pelantikan raja dan alat komunikasi antara raja dengan rakyat.

Kemudian oleh tokoh masyarakat, kalosara diperlakukan sebagai alat komunikasi antara satu golongan dengan golongan lain, antara satu keluarga dengan keluarga lain dan individu dengan individu lainnya, hingga kegunaan kalosara sampai pada unsur-unsur perdukunan dimana oleh para dukun pertanian dan dukun penyakit dalam melakukan prakteknya menggunakan kalosara dan akhirnya Kalosara terus mengalami perluasan makna hingga digunakan dibidang teknologi, keagamaan, dan kesenian. Dalam wujud kalosara terdapat tiga komponen utama sebagai perangkatnya yaitu :

a. Lingkaran Rotan

Salah satu tumbuhan yang terkuat dan terlemah adalah rotan, segala kebutuhan manusia dapat digunakan rotan sehingga rotan dijadikan bahan untuk kekuatan adat. Rotan yang digunakan sebagai bahan kalo mempunyai arti khusus, rotan dapat menolong manusia untuk menghilangkan dahaga karena rotan mengandung air yang rasanya tawar. Digunakannya rotan sebagai bahan kalo sara, mempunyai makna pelambang, yakni memperingatkan kepada seseorang agar didalam hidupnya selalu berguna, baik bagi kepentingan dirinya sendiri maupun untuk kepentingan orang lain. Manusia harus hidup rukun dan bekerasama dengan orang lain, tolong menolong, terjalin suatu persekutuan hidup yang damai dan tenteram, terhindar dari perselisihan.

Lingkaran yang berbahan rotan kecil bulat berwarna krem tua yang dipilin, rotan yang melingkar berjumlah tiga dengan simpul kait mengkait dalam satu ikatan simpul dengan satu ikatan kedua ujung rotan berbentuk seperti dasi kupu-kupu. Lingkaran memiliki makna sebagai pencerminan jiwa persatuan dan kesatuan dari 3 unsur dalam sebuah keluarga inti yaitu :

1. Lilitan pertama ialah unsur pemimpin

2. Lilitan kedua ialah unsur pelaksana atau penyelenggara kekuasaan (ibu)

3. Lilitan ketiga ialah unsur kedaulatan rakyat (anak)

Bentuk lingkaran (bulatan) bersimpul tunggal, artinya bahwa dalam suatu keluarga harus berusaha terus menerus menciptakan suatu kesatuan yang mempunyai tekad bulat membina persatuan dan kesatuan dalam kekeluargaan, serta taat dan patuh kepada pimpinan.

b. Kain Putih

Alas Kalosara dari sehelai kain berwarna putih segi empat sama sisi, memiliki makna sebagai simbol kejujuran, kesucian, keadilan, ketulus-ikhlasan hati dan kebenaran. Di dalam makna tersebut tergambar jiwa religius yang menyemangati kehidupan masyarakat Tolaki. Penggunaan kalo bersama dengan sehelai kain putih sebagai alas Kain putih merupakan simbol adat dalam kehidupan berumah tangga sebagai media pengikat hubungan keluarga inti secara timbal-balik

Dalam bahasa Tolaki, istilah adat disebut sara. Simbol adat Tolaki ialah kalosara. Falsafah hukum Tolaki mengungkapkan “inae kosara ie pinesara, inae lia sara ke pinekasara” artinya siapa yang tahu adat ialah yang dihormati, siapa yang melanggar adat ia pasti dikasari. Falsafah ini lebih menegaskan lagi, bahwa siapa yang melawan ketentuan adat, menolak atau tidak menghargai kalosara, ia patut dihukum berat yaitu diusir meninggalkan wilayah adat untuk selama-lamanya.

c. Talam Anyaman

Alas bawah Kalosara, yang disebut juga “Siwole” (talam anyam) yaitu wadah berbentuk segi empat yang terbuat dari anyaman daun palem hutan atau daun pohon kelapa yang melambangkan unsur kesucian terhadap air dan sumber mata angin sebagai lambang kehidupan kepada setiap manusia, memiliki simbol sebagai pencerminan dari jiwa kerakyatan, keadilan sosial, dan kesejahteraan umum bagi seluruh warga masyarakat Tolaki. Wadah dimaksud adalah tanah Konawe (Kerajaan Konawe), negeri leluhur orang Tolaki. Ia juga merupakan simbolisasi dari rumah tangga itu sendiri, dimana manusia hidup dan berjuang.